top of page

Prof. Herawati Sudoyo: Campuran Gen Manusia Indonesia

Siapa nenek moyang Indonesia? Dari mana asalnya? Kenapa etnik dan budayanya berbeda? Tiga pertanyaan itu diajukan Profesor Herawati Sudoyo, ahli genetika dari Biomolekular Eijkman Institut, saat membuka seminarnya yang bertajuk "Aneka Gen, Satu Indonesia" di acara final Dexa Award Science Scholarship 2018 pada 31 Juli 2018 di Titan Center.


Profesor Herawati Sudoyo memaparkan alasan isu ini diangkat adalah karena banyaknya keanekaragaman yang dimiliki oleh Indonesia, mulai dari bahasa, etnik hingga adat istiadat. Sehingga pertanyaan inti ini muncul, "Siapakah manusia Indonesia?" Menurutnya, seluruh jawaban ini tersimpan dalam sel di tubuh kita.


Selama 20 tahun, Profesor Herawati bersama dengan Lembaga Eijkman meneliti asal-usul orang Indonesia secara genetik. Tiga aspek yang diteliti berdasarkan marka populasi adalah, pelajari bahasanya, pelajari budaya, dan pelajari genetika.


"Jadi yang saya pelajari adalah hubungan budaya, bahasa, genetik. Apakah kalau bahasa sama berarti genetik sama? Jadi kalau mau bilang (asal) Indonesia, ya yang dari presentasi yang mana? Karena tiap orang beda. Karena, Indonesia dengan NKRI beragam etnik ragam juga genetiknya," kata Prof. Hera.



Perjalanan Migrasi Manusia Indonesia

"Dalam perjalanannya menjadi manusia Indonesia, secara genetis terdapat empat gelombang migrasi yang berkontribusi," jelasnya. Gelombang awal, nenek moyang datang 50.000 tahun lalu melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda yang ketika itu masih menggabungkan Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya.


Lalu, manusia modern (Homo sapiens) dimulai dari Benua Afrika sekira 150.000 tahun lalu. Pada 30.000 tahun kemudian, sekelompok manusia melakukan perjalanan ke utara melalui Mesir dan Israel. Namun, jejak mereka hilang.


Kelompok lainnya, sekira 72.000 tahun lalu berpindah ke bagian selatan semenanjung Arab menuju India. “Manusia non-Afrika, termasuk kita, merupakan kelompok keturunan ini,” jelas Profesor Herawati.


Profesor Herawati melanjutkan, pada 40.000 tahun lalu ada dua kejadian migrasi. Ada kelompok yang pindah ke utara dari Pakistan melewati Sungai Indus dan bergerak ke Selat Bering. Inilah para penghuni Benua Amerika kurang lebih 15.000 tahun lalu. Mereka jauh lebih muda dibandingkan penghuni Kepulauan Nusantara.


“Pada jalur lebih muda, memperlihatkan nenek moyang yang berasal dari Afrika Timur pergi ke utara menyebar melalui lembah Sungai Nil, Semenanjung Sinai atau melalui Laut Merah ke Saudi Arabia ke selatan, melewati Indonesia sampai ke Australia,” papar Profesor Hera.

Gelombang kedua adalah kontribusi dari Asia daratan. Ini adalah kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari daratan Asia melewati Semenanjung Malaya. Saat itu, Semenanjung Malaya masih menyatu dengan Pulau Sumatera dan Kalimantan.


Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara. Pada periode sekitar 4.000 tahun lalu, mereka bermigrasi dari daerah Cina Selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi, dan Kalimantan. Mereka inilah yang membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini terjadi mulai dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di dekat Amerika.

“Kalau lihat dari bahasanya, bahasa yang kebanyakan dipakai sekarang adalah Bahasa Austronesia. Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya.


Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara. Empat gelombang migrasi yang melalui Kepulauan Nusantara itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya keragaman pada masa kini.


Tiga Marka Genetika Manusia Indonesia

Menurut Prof Hera, ada beberapa gelombang migrasi yang membentuk masyarakat Indonesia, yakni menggunakan tiga marka genetika. Adapun tiga marka itu adalah, DNA mitokondria, kromosom Y, dan autosom.


Pertama yaitu kromosom Y yaitu struktur protein dan asam nukleat dalam sel sperma. Kromosom Y menurunkan DNA dari ayah ke anak-anaknya. Kedua, DNA mitrokondria, yang diturunkan Ibu ke seluruh anak-anaknya. Mitokondria adalah struktur di dalam sel yang mengubah asupan makanan menjadi energi yang dapat digunakan oleh tubuh. Ketiga adalah DNA autosom yang diturunkan secara parental dari kedua orang tua.


Dari DNA mitokondria dan kromosom Y ditemukan bahwa populasi di Nusantara memiliki jejak genetika manusia dari gelombang pertama migrasi Out of Africa yang menyusuri jalur selatan sekitar 60.000 tahun lalu.


Sementara itu hipotesis model Out of Taiwan menerangkan bahwa penyebaran penutur Austronesia terjadi 5.000-7.000 tahun lalu ke arah selatan. Dua gelombang migrasi ini yang dipercaya membentuk struktur populasi manusia Indonesia.


Melalui studi genetika yang dilakukan, Profesor Herawati melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA.


Berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang hanya diturunkan melalui garis Profesor, diketahui periode hunian awal di Kepulauan Nusantara berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Sementara analisis penanda kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah memperlihatkan adanya bukti pembauran beberapa leluhur genetik.


“Pembauran makin jelas dengan menggunakan penanda genetik yang ditemukan dalam inti sel, yaitu DNA autosom, yang diturunkan dari kedua orang tua,” jelas Herawati.

Penelitian tersebut menguak populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.


Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.


Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia.


Keragaman Genetika dan Penyakit

Penelitian ini dibentuk Profesor Herawati juga untuk memahami hubungan antara keanekaragaman genetika manusia dan penyakit. Menurutnya, setiap etnis memiliki kerentanan dan daya tahan terhadap penyakit tertentu. Untuk itu, dia berupaya memetakan struktur genetika populasi. Dengan peta genetika ini, diharapkan setiap etnis mendapatkan pengobatan yang presisi.


Menutup seminarnya, Profesor Herawati menegaskan, melalui penelitian genetika dapat diketahui migrasi manusia sampai ke Nusantara yang menjadi nenek moyang orang Indonesia. Dari penelitian genetika ini membuktikan tak ada pemilik gen murni di Nusantara. “Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika, yang pada awalnya berasal dari Afrika,” tegas Profesor Herawati.

bottom of page