top of page

Stafsus Presiden Jokowi: Ayu Kartika Dewi"Scientist Mindset"

Ayu Kartika Dewi, adalah satu dari ratusan atau bahkan ribuan milenial lain yang tergerak untuk melakukan perubahan di Indonesia. Keresahan dirinya akan toleransi antar umat manusia membuat ia mendirikan gerakan SabangMerauke di Indonesia. Niat mulianya ini juga yang membuat dirinya dilirik oleh Presiden Jokowi untuk menjadi Staf Khusus Milenial periode 2019 - 2024.


SabangMerauke tidak serta merta sebuah padanan kata Sabang hingga Merauke. Diakui oleh Ayu saat menjadi pembicara Dexa Award Science Scholarship 2019 lalu, gerakan SabangMerauke yang ia bentuk adalah sebuah singkatan yaitu Seribu Anak Bangsa Merantau Untuk Kembali. Melalui pengalaman hidupnya, Ayu merasa penting untuk mengangkat kembali edukasi toleransi bagi seluruh masyarakat Indonesia.


Ia merupakan alumnus dari Universitas Airlangga dan program pascasarjana di Duke University, Amerika Serikat. Dengan semangat dan komitmen tinggi dalam menggelorakan nilai toleransi dan keberagaman di penjuru Nusantara, Ayu mengawali pengabdiannya bersama lembaga Indonesia Mengajar. Lembaga nirlaba ini fokus mencetak dan mengirimkan kawula muda sebagai pengajar SD di daerah-daerah terpencil. Padahal sebelumnya Ayu sempat sempat berkarier sebagai Consumer Insight Manager di P&G Singapura.


Ayu Kartika Dewi menjadi pembicara bersama dengan dua milenial berprestasi lainnya yaitu Tifanny Robyn COO GueSehat dan Al Fatih Timur CEO KitaBisa, pada final Dexa Award Science Scholarship 2019, 27 Juni 2019. Ernest Prakasa yang juga menjadi Host sekaligus Moderator pada sesi ini membuat talkshow yang bermanfaat ini menjadi seru dan menyenangkan.



Gerakan SabangMerauke


“Ibu, awas Ibu, kerusuhan su dekat! Banyak orang jahat. Nanti mereka bisa bakar-bakar kita pe rumah,” teriak anak-anak desa di Halmahera Selatan, Maluku Utara, 10 tahun silam, saat Ayu mengawali sesi talkshownya. Jerit panik anak-anak itu masih terekam dibenak Ayu Kartika Dewi.


Saat itu, Ayu yang tengah menjadi guru SD di sebuah desa di lereng gunung di Maluku Utara melihat fenomena yang mengejutkan. Kerusuhan Ambon-Poso 1999 telah membawa dampak bagi anak-anak di sekitar wilayah kerusuhan. Ada sekat yang membatasi desa Islam dan Kristen. "Mereka" yang dimaksud oleh anak-anak itu adalah orang Kristen yang tinggal di desa seberang desa muslim yang Ayu dan anak-anak itu tempati. Tanpa pernah bertemu mereka yang berbeda ideologi, anak-anak ini hanya dapat menangkap persepsi bahwa yang berbeda dari mereka merupakan sesuatu yang jahat.


Dari kejadian itulah, Ayu bersama dengan sejumlah rekannya yang memiliki kegelisahan serupa berkumpul. Mereka ingin menolong anak-anak Indonesia agar memahami definisi perdamaian dan toleransi antar sesama. "Jadi, sulit sekali mengajari perdamaian kalau hanya lewat buku PPKN. Kita harus damai, kita saling mengasihi, itu agak susah. Jadi kalau seperti teman saya bilang, Kang Ai namanya. 50% dari permasalahan perdamaian itu bisa selesai kalau kita sudah ketemu," kata Ayu dalam seminarnya.



Dari keinginannya inilah kemudian berujung pada sebuah inisiasi mengadakan pertukaran pelajar antardaerah di Indonesia yang dilabeli SabangMerauke. Melalui program pertukaran pelajar yang diperuntukan bagi siswa dan siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini, SabangMerauke mencoba memperkenalkan para siswa untuk tinggal bersama keluarga dari agama dan atau etnis yang berbeda selama tiga minggu. Tujuannya agar anak-anak bertemu dan melihat sekitar, karena menurut Ayu jika tidak pernah bertemu, anak-anak akan memiliki prasangka buruk selamanya.


"Jika ada lebih banyak anak-anak Indonesia yang pernah mengenal dan berinteraksi positif dengan orang-orang yang berbeda, maka anak-anak ini akan tumbuh menjadi manusia yang toleran dan penuh kasih. Dengan cara sesederhana ini, Indonesia mungkin akan jadi tempat yang lebih damai,” tutur Ayu. Gerakan SabangMerauke kini sudah dikelola secara profesional oleh orang lain. Sejauh ini, sekitar empat ribu anak telah berpartisipasi pada program ini.



Scientist Mindset oleh Ayu


Pada seminarnya di Dexa Award Science Scholarship, Ayu membuat Scientist Mindset yang harus dimiliki semua orang dalam kehidupan sehari-hari agar dapat saling menjunjung tinggi toleransi antar sesama umat beragama.


"Dalam hidup berdampingan dalam keberagaman, kita juga harus mempunya scientist mindset. Sebuah mindset yang dimiliki oleh saintis yang juga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mempertanyakan atas sebuah fakta yang ditemukan dalam kehidupan, yang mungkin tidak bisa diterima dengan mencoba kemungkinan lain." papar Ayu.


Be Courious, Open Minded, Have Health Skepticism, Have Empathy dan Be Humble, adalah lima kunci dalam scientist mindset yang digagas Ayu dalam seminarnya. Be courious, tanyakan dan cari tahu apa yang terjadi dan akan terjadi di sekitar. Seperti halnya tujuan dari program SabangMerauke itu sendiri, agar anak-anak tahu apa yang ada di sekitar mereka.


Open Minded, terbukalah terhadap sesuatu yang baru, dan jangan ragu untuk bertanya. Mempertanyakan atas sebuah fakta yang ditemukan dalam kehidupan, yang mungkin tidak bisa diterima tapi kemudian mencoba dengan kemungkinan lain. Sama halnya seperti para saintis yang selalu melakukan eksperimen untuk percobaannya.


Have Health Skepticism. Sikap skeptis sendiri merupakan sebuah paham yang mengajarkan manusia untuk curiga, tidak mudah percaya, dan bersikap hati-hati atas tindakan. Namun, terlalu skeptis juga tidak baik dalam kehidupan. "Kita boleh skeptis, namun harus sehat. Tidak semua hal yang kita terima adalah benar adanya. Jangan terlalu skeptis terhadap lingkungan atau dunia", ujar Ayu.



Filosofi Bubur Ayam


Bubur ayam menjadi filosofi Ayu saat memaparkan poin ke-4 dalam scientist mindset yaitu have empathy. Empati sendiri mempunya sifat dengan arti agar kita dapat menempatkan diri pada posisi orang tersebut dan berbagi secara langsung, sama halnya dengan menghormati pilihan orang dalam makan bubur ayam, dengan cara diaduk atau tidak diaduk.

Bagi tim bubur diaduk melihat tim bubur tidak diaduk pasti aneh, begitupun sebaliknya. Namun, kedua tim ini dapat makan bubur secara bersamaan dengan cara makan yang berbeda. "Mengapa kita bisa duduk satu meja dan makan bubur bersama walaupun dengan cara yang beda? Batasannya menurut saya adalah kemanusiaan," ujar Ayu. Ditambahkan oleh Ayu, seharusnya manusia harus selalu ingat dengan filosofi bubur ayam dalam menanggapi perbedaan pendapat.


Pada akhir seminarnya, Ayu mengutip perkataan Imam al-Syafi'i, seorang Ulama Besar yaitu "Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selainku itu salah, tapi bisa jadi benar”. Kutipan itu mengingatkan agar kita sebagai manusia tetap rendah hati dalam segala perbuatannya. Be humble.


Scientist mindset yang dipaparkan Ayu diharapkan dapat dimiliki oleh semua orang agar dapat hidup tentram dan toleransi dalam keberagaman. "Saya percaya bahwa toleransi itu tidak bisa hanya dibaca di buku PPKN. Toleransi itu harus dialami, harus dirasakan," ujar Ayu menutup seminarnya.


bottom of page